OPINI - Jurnalis bekerja berdasarkan UU No. 40 tahun 1999 tentang PERS, didukung oleh UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi, serta Undang-undang lainnya yang menjamin hak masyarakat untuk mengumpulkan data dan informasi publik.
Selain itu dalam melaksanakan profesinya seorang Jurnalis, wartawan atau masyarakat dikawal oleh UU No. 11 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang sudah direvisi beberapa kali, dan Perusahaan Pers terikat dengan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Jurnalis atau wartawan bukanlah makhluk istimewa yang harus diperlakukan khusus. Profesionalisme seorang jurnalis cukup dinilai dari kode etik jurnalistik saja.
Seorang jurnalis yang mengabaikan kode etik bisa dipastikan dia sudah masuk ke ranah pidana, karena sudah menulis berita tidak lengkap sesuai dengan kaidah penulisan jurnalistik, atau ringkasnya dia sudah menulis berita hoax atau lebih parah lagi berita fitnah.
Berita hoax atau fitnah sudah dipastikan masuk ke ranah hukum dan sudah tentuk kena delik. Sebuah berita tendensius yang menghancurkan nama baik orang lain, merusak reputasi organisasi atau instansi pemerintah, ini pidana. Ranah pidana bukan Ranah Dewan Pers, dan Dewan Pers juga tidak akan bisa melindungi jurnalis atau wartawan dari jeratan hukum.
Dewan Pers hanya bisa bertindak sebagai mediator, bukan sebagai polisi, jaksa, atau hakim yang bisa menentukan ini berita masuk delik pidana atau bukan. Selama berita itu mengandung fitnah atau hoax tanpa data dan fakta seorang jurnalis telah melakukan tindakan pidana.
Jurnalis atau wartawan saat ini tidak bisa lagi berlindung dengan kata dugaan, atau kata "diduga", seorang jurnalis harus bisa memaparkan data dan/atau fakta tanpa dibumbuhi opini yang menggiring pembaca untuk mempunya persepsi negatif terhadap subjek atau objek berita yang dipublikasikan.
Sementara itu untuk masalah mediasi jika sekiranya terjadi kesalahpahaman persepsi antara seorang jurnalis dengan subjek beritanya, maka juga tidak perlu datang ke Dewan Pers, saat ini sudah banyak mediator bersertifikat, baik itu pengacara, jaksa, polisi, maupun hakim. Mereka bisa melakukan "Restoratif Justice" dan hasilnya juga berkekuatan hukum karena hasilnya didaftarkan pada pengadilan negeri setempat.
Dewan Pers yang diamanatkan oleh UU No. 40 tentang Pers diantaranya melakukan pembinaan pers dan melakukan pendataan perusaahan pers malah tidak melakukan tugasnya. Mereka sibuk melakukan Ujian Kompetensi Wartawan (UKW) dan itu pun sering diskriminati dengan notasi yang boleh ikut hanya media yang terdaftar di Dewan Pers, padahal tugas mendata perusahaan pers adalah Dewan Pers sendiri, jika sekiranya Dewan Pers melakukan pembinaan terhadap jurnalis atau wartawan harusnya kata-kata diskriminatif itu tidak perlu ada.
Jika jurnalis atau wartawan adalah sebuah profesi, maka yang punya Hak untuk melakukan Uji Kompetensi Wartawan atau Jurnalis adalah Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), bukan Dewan Pers.
Selanjutnya tugas pendataan perusahaan pers, malah tidak dilakukan sama sekali, Dewan Pers malah memaksa Perusahaan Pers untuk mendaftarkan diri ke Dewan Pers padahal itu Tugas Dewan Pers untuk mendata, gak ada urusan sebuah perusahaan pers mendaftarkan diri ke Dewan Pers karena Perusahaan Pers adalah perseroan terbatas, jadi terikat dengan undang-undang PT bukan ke Dewan Pers.
Kalau sekiranya seorang yang mengaku Jurnalis atau wartawan, atau sekiranya benar jurnalis atau wartawan melakukan tindakan profesi wartawan dengan tidak profesional itu sudah masuk ranah hukum, gak ada urusan dengan Dewan Pers itu ranah aparat penegak hukum (APH).
Jadi Dewan Pers itu mendukung keterbukaan informasi atau kebebasan pers, atau cuma sebuah kerikil di dalam sepatu jurnalis atau Perusahaan Pers.
Jakarta, 5 April 2024
Hendri
Baca juga:
Kisah Wasiat Kiai As'ad Syamsul Arifin
|
Ketua Umum (Jurnalis Nasional Indonesia)