SURABAYA - Sepertinya telah muncul kelompok penulis yang berakrab ria menulis tentang Anies Baswedan. Masing-masing penulis muncul dengan gaya penyampaian beragam. Dan tentu pula dengan pendekatan kepakarannya masing-masing. Asyik juga membaca tulisan-tulisan mereka itu. Anies dilihat dalam berbagai dimensi. Di tangan mereka, Anies menjadi kaya warna.
Jika muncul pertanyaan, siapa yang mengawali menulis tentang Anies Baswedan, sepertinya belum terlihat, penulis opini lain yang konsen menulis tentang Anies Baswedan. Yang terlihat hanyalah Tony Rosyid. Jika itu ditanyakan pada sepuluh orang, maka akan muncul jawaban dari sebelas orang. Semuanya akan menjawab pada satu nama, dan itu menunjuk pada Tony Rosyid.
Tony Rosyid memang dahsyat. Ia bisa disebut pelopor, dan bisa jadi dari ia pulalah inspirasi penulis lain muncul yang datang belakangan. Atau setidaknya, setelehnya, muncul banyak penulis tentang Anies Baswedan dengan bermacam genre. Anies bisa dilihat dari angle berbeda.
Dari sepuluh orang yang ditanya, itu akan muncul jawaban dari sebelas orang, memang tampak berlebihan. Tentu itu tidak berlebihan. Sebelas jawaban dari sepuluh pertanyaan yang muncul, itu bukan kelebihan satu jawaban.
Jawaban kesebelas itu dari yang bertanya, yang mempunyai jawaban sama, bahwa Tony Rosyid lah bisa disebut penulis yang mengawali penulisan tentang Anies Baswedan. Maka, bersyukurlah Anies punya Tony Rosyid. Dan pastilah makin bersyukur, telah muncul banyak penulis lainnya. Muncul dengan gaya dan pendekatan berbeda.
Adalah Adhyaksa Dault, mantan menteri Pemuda dan Olah Raga, berseloroh tentang Tony Rosyid. Adhyaksa bersandar pada kegetolan Tony Rosyid dalam menulis tentang Anies Baswedan. Begini kata Adhyaksa pada kawan-kawannya pada suatu kesempatan. Katanya, "Tony Rosyid itu sebulan dibayar Anies Rp 50 juta."
Salah satu kawan Tony yang saat itu ada bersama Adhyaksa, mendengar celotehan itu perlu konfirmasi pada Tony apa benar yang dikatakan Adhyaksa itu.
Dengan enteng Tony menjawab, tentu dengan nada canda pula, "Wah, Adhyaksa itu fitnah. Yang benar saya dibayar Rp 150 juta sebulan." Itulah Tony Rosyid, laki-laki ceking atletis yang selalu tampil dengan khas topi baret, yang dilihat kawan lain (seolah) ia orangnya Anies. "Mati urip melu Anies."
Mari melihat pembelaan diri Tony yang menarik. Dan itu tentang mengapa ia "membela" Anies. Atau lebih ekstrem lagi, mengapa ia gandrung pada Anies, dan karenanya dirasa berlebihan. Lalu muncul semacam "olok-olok" pihak lain, seolah bagi Tony tiada hal lain yang patut ditulis melebihi menulis tentang Anies. Ibarat produktivitas menulis, jika sebulan 25 tulisan ia buat, maka 24 tulisan itu tentang Anies, tentu dalam pendekatan ilmu politik.
Itu memang kepakaran yang dipunyainya. Sedang tulisan satu-atunya dari 25 tulisan itu bisa tentang Presiden Joko Widodo atau pihak lain, yang terkadang tetap disusupi ada Anies di dalam tulisannya itu.
Begini pembelaan Tony tentang sikap "menggandrungi" Anies itu, dan itu disampaikan pada banyak kawannya. Katanya, "Coba tunjukkan, adakah sosok lain yang punya kapasitas semacam Anies. Baik tentang kapabilitas, emotional quality dan integritas menyamai, tidak perlu sampai melebihi. Jika bisa tunjukkan itu, maka saya akan berhenti menulis tentang Anies." Dan biasanya sang kawan akan "melongo" tak mampu menjawab balik.
Saat ini Anies jadi bahan penulisan berbagai kalangan, dan dengan tingkat produktivitas luar biasa. Bahkan, Abang Smith Alhadar, pengamat politik luar negeri khususnya Timur Tengah dan juga dikenal penulis geopolitik utama, pun ikut-ikutan menulis tentang Anies Baswedan. Bang Smith seakan memakai pakaian kesempitan yang tak biasa dipakainya. Dan itu buatnya tiada masalah.
Seorang kawan yang saya hantar tulisan Bang Smith tentang Anies, rada tidak percaya. Apa benar ini tulisan Smith Alhadar, yang biasa menulis di HU Kompas itu, tanyanya. Dan bahkan kawan tadi menyimpulkan sendiri, itu jangan-jangan orang lain menulis tentang Anies dengan mencatut namanya. He-he-hee.
Itulah fenomena yang terjadi. Munculnya penulis berkualitas memilih berada di belakang Anies Baswedan. Mengelaborasi Anies dari berbagai sudut pandang, sesuai kepakaran masing-masing. Untuk hal itu, tidaklah mungkin dipungkiri, bahwa Tony Rosyid bisa disebut pelopor yang menginspirasi. Setidaknya, itu yang saya rasakan.
Maka, patut bersyukurlah Anies Baswedan. Tentu dengan kesyukuran luar biasa, "memiliki" seorang Tony Rosyid yang tetap menulis dengan kaidah obyektif. Anies tidak dibuat "melangit", tapi sewajarnya berpijak di bumi. Nilainya, jika Tony Rosyid harus dinilai, maka tak ternilai. Bahkan nilai Rp 150 juta, sebagaimana selorohnya, jika saja ia dinilai segitu, itu pun sebenarnya murah banget. (*)