JAKARTA - Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto mengapresiasi pembahasan Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) dalam mengakomodir kekhasan daerah guna penentuan parameter harga listrik. Sebab, dengan berpedoman pada kekhasan sebuah daerah tersebut akan membentuk ekosistem EBT yang sehat, dengan didasarkan pada potensi sumber daya energi di masing-masing daerah. Sehingga, hal itu sekaligus akan menekan harga penggunaan EBT tanpa selalu menjadikan PLTU batu bara sebagai acuan harga listrik.
“Contoh hari ini bagaimana de-dieselisasi tidak berjalan dengan baik. Karena parameter harga diukur dari harga listrik, yakni PLTU batubara secara nasional. Bagaimana bisa masuk (harganya), kalau misalnya dilakukan dieselisasi padahal sesuai dengan karakter tempat di situ itu harganya jauh (mahal) sekali, ” ujar Sugeng saat menghadiri Rapat Panja Harmonisasi RUU EBT, di Ruang Rapat Baleg DPR RI, Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Senin (4/4/2022).
Baca juga:
Komitmen Calon Komisioner OJK Akan Diuji
|
Anggota Fraksi Partai NasDem DPR RI itu mencontohkan, harga listrik 1 kilowatt per jam (kwh) yang digerakkan oleh tenaga diesel di Papua sudah mencapai 29 sen dolar AS. Sedangkan, harga listrik 1 kwh yang digerakkan oleh PLTU batu bara kurang lebih hanya membutuhkan 4 sen dolar AS (Rp915) yang cukup murah, disebabkan karena adanya kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) dengan harga batu bara hanya 70 dolar AS per ton.
Padahal, jika dibandingkan dengan harga listrik 1 kwh yang dihasilkan dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Papua, harganya mencapai 20 sen dolar AS, di mana harga tersebut masih lebih mahal dibandingkan PLTU Batu bara. Namun, jika dibandingkan dengan harga listrik yang dihasilkan dari tenaga diesel yang 29 dolar AS, PLTS di Papua jauh lebih murah.
“Insya Allah, UU EBT ini akan menjadi breakthrough dari tidak majunya perkembangan EBT sejauh ini. Meskipun, secara kebijakan, secara pandangan, kita semua ingin masuk ke EBT. Terlebih energi fosil sudah menjadi masalah, baik yang berasal dari migas maupun batu bara sudah menjadi masalah luar biasa, ” ujar Sugeng. (rdn/sf)